SUMBER RUJUKAN DALAM MENAFSIRKAN AL QURAN
بسم الله الرحمن الرحيم
Potretdepok.com – Mengenal istilah Tafsir, secara bahasa bermakna menyingkap sesuatu yang tertutup.
Adapun secara istilah adalah penjelasan makna Al-Quran Al-Karim.
[Ushulun fit Tafsir, Syaikh Al-Utsaimin, hal. 23]
*Kewajiban Seorang Muslim dalam Menafsirkan Al-Quran Al-Karim*
Kewajiban seorang muslim dalam menafsirkan Al-Quran Al-Karim adalah memposisikan dirinya sebagai penyampai maksud Allah Ta’ala, ia bersaksi atas maksud Allah Ta’ala dalam firman-Nya, sehingga ia mengagungkan persaksian dirinya tersebut. Iapun wajib takut akan terjatuh kedalam kesalahan berupa mengatakan tentang Allah Ta’ala tanpa ilmu, sehingga iapun terjatuh kedalam perkara yang diharamkan oleh Allah Ta’ala.
Allah Ta’ala mengharamkan sikap berbicara tentang Allah Ta’ala tanpa ilmu dalam firmannya berikut.
قُلْ إِنَّمَا حَرَّمَ رَبِّيَ الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ وَالْإِثْمَ وَالْبَغْيَ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَأَنْ تُشْرِكُوا بِاللَّهِ مَا لَمْ يُنَزِّلْ بِهِ سُلْطَانًا وَأَنْ تَقُولُوا عَلَى اللَّهِ مَا لَا تَعْلَمُونَ
“Katakanlah: ‘Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak ataupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui’”
(QS. Al-A’raf: 33).
Allah Ta’ala mengancam orang yang berbicara tentang-Nya dengan berdusta:
وَيَوْمَ الْقِيَامَةِ تَرَى الَّذِينَ كَذَبُوا عَلَى اللَّهِ وُجُوهُهُمْ مُسْوَدَّةٌ ۚ أَلَيْسَ فِي جَهَنَّمَ مَثْوًى لِلْمُتَكَبِّرِينَ
“Dan pada hari Kiamat kamu akan melihat orang-orang yang berbuat dusta terhadap Allah, mukanya menjadi hitam. Bukankah dalam neraka Jahannam itu ada tempat bagi orang-orang yang menyombongkan diri”
(QS. Az-Zumar: 60).
*Rujukan dalam Menafsirkan Al-Quran*
Untuk bisa terhindar dari kesalahan dalam menafsirkan Al-Quran, maka para ulama telah merumuskan sumber rujukan dalam menafsirkan Al-Quran. Syaikh Muhammad Shalih Al-’Utsaimin menjelaskan hal ini dalam kitabnya Ushulun fit Tafsir.
*Sumber rujukan dalam menafsirkan Al-Quran adalah sebagai berikut:*
*Rujukan Pertama: Kalamullah*
Ayat Al-Quran ditafsirkan dengan ayat Al-Quran yang lainnya, firman Allah Ta’ala ditafsirkan dengan firman Allah Ta’ala yang lainnya, karena Allah Ta’ala lah yang berfirman dengannya, sehingga Allah Ta’ala lah pula yang paling tahu tentang makna firman-Nya sendiri.
*Diantara Contoh Penafsiran Ayat Al-Quran dengan Ayat Al-Quran Lainnya, yaitu:*
*1. Firman Allah Ta’ala*
أَلَا إِنَّ أَوْلِيَاءَ اللَّهِ لَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ
“Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada rasa takut terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati”
(QS.Yunus: 62),
Makna wali Allah dalam firman Allah Ta’ala di atas, ditafsirkan dengan ayat yang selanjutnya:
الَّذِينَ آمَنُوا وَكَانُوا يَتَّقُونَ
“(Yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa”
(QS.Yunus: 63).
*2. Firman Allah Ta’ala*
وَمَا أَدْرَاكَ مَا الطَّارِقُ
“Tahukah kamu apakah Ath-Thariq itu?”
(QS.At-Thariq: 2),
Makna “Ath-Thariq” dalam firman Allah Ta’ala di atas ditafsirkan dengan ayat yang selanjutnya,
النَّجْمُ الثَّاقِبُ
“(yaitu) bintang yang cahayanya menembus”
(QS.At-Thariq: 2).
*3. Firman Allah Ta’ala,*
وَالْأَرْضَ بَعْدَ ذَٰلِكَ دَحَاهَا
“Dan bumi sesudah itu dihamparkan-Nya” (QS.An-Nazi’at: 30), makna “dihamparkan-Nya” dalam firman Allah Ta’ala di atas, ditafsirkan dengan dua ayat yang selanjutnya:
أَخْرَجَ مِنْهَا مَاءَهَا وَمَرْعَاهَا
“Ia memancarkan darinya mata airnya, dan (menumbuhkan) tumbuh-tumbuhannya”
وَالْجِبَالَ أَرْسَاهَا
“Dan gunung-gunung dipancangkan-Nya dengan teguh”
(QS.An-Nazi`at : 31-32).
*Rujukan Kedua: Sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam (As-Sunnah)*
Al-Quran Al-Karim ditafsirkan dengan Sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam (As-Sunnah), karena Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam adalah utusan Allah Ta’ala yang menyampaikan firman Allah Ta’ala kepada umatnya, sehingga beliaulah manusia yang paling mengetahui tentang maksud Allah Ta’ala dalam firman-Nya.
*Beberapa Contoh Penafsiran Al-Quran dengan Sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, di antaranya:*
*1. Firman Allah Ta’ala*
لِلَّذِينَ أَحْسَنُوا الْحُسْنَىٰ وَزِيَادَةٌ ۖ وَلَا يَرْهَقُ وُجُوهَهُمْ قَتَرٌ وَلَا ذِلَّةٌ ۚ أُولَٰئِكَ أَصْحَابُ الْجَنَّةِ ۖ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ
“Bagi orang-orang yang berbuat baik, ada pahala yang terbaik (surga) dan tambahannya. Dan muka mereka tidak ditutupi debu hitam dan tidak (pula) kehinaan. Mereka itulah penghuni surga, mereka kekal di dalamnya”
(QS.Yunus : 26).
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menafsirkan tambahannya dalam ayat yang mulia di atas dengan melihat wajah Allah Ta’ala.
Hal ini sebagaimana hadits yang diriwayatkan dari Syuhaib bin Sinan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda,
إذا دخل أهل الجنة الجنة قال يقول الله تبارك وتعالى تريدون شيئا أزيدكم فيقولون ألم تبيض وجوهنا ألم تدخلنا الجنة وتنجنا من النار قال فيكشف الحجاب فما أعطوا شيئا أحب إليهم من النظر إلى ربهم عز وجل
“Apabila penduduk surga masuk kedalam surga, Allah Tabaraka wa Ta’ala berfirman, ‘Apakah kalian menginginkan sesuatu untuk Aku tambahkan kepada kalian.’ Maka mereka pun menjawab, ‘Bukankah Engkau telah memutihkan wajah-wajah kami?’ Bukankah Engkau telah memasukkan kami kedalam surga, dan Engkau telah menyelamatkan kami dari neraka?’ Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Lalu Allah menyingkap tabir, maka tidaklah mereka diberi suatu anugerah yang lebih mereka cintai daripada melihat Rabb mereka Azza wa Jalla.’
Dalam jalur riwayat lain, kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca ayat yang agung ini,
لِلَّذِينَ أَحْسَنُوا الْحُسْنَىٰ وَزِيَادَةٌ
“Bagi orang-orang yang berbuat baik, ada pahala yang terbaik (surga) dan tambahannya (melihat wajah Allah)”
([QS.Yunus: 26] HR. Imam Muslim: 181).
*2. Firman Allah Ta’ala,*
وَأَعِدُّوا لَهُمْ مَا اسْتَطَعْتُمْ مِنْ قُوَّةٍ وَمِنْ رِبَاطِ الْخَيْلِ تُرْهِبُونَ بِهِ عَدُوَّ اللَّهِ وَعَدُوَّكُمْ وَآخَرِينَ مِنْ دُونِهِمْ لَا تَعْلَمُونَهُمُ اللَّهُ يَعْلَمُهُمْ ۚ وَمَا تُنْفِقُوا مِنْ شَيْءٍ فِي سَبِيلِ اللَّهِ يُوَفَّ إِلَيْكُمْ وَأَنْتُمْ لَا تُظْلَمُونَ
“Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah, musuhmu dan orang orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya, sedang Allah mengetahuinya. Apa saja yang kamu nafkahkan di jalan Allah, niscaya akan dibalasi dengan cukup kepadamu, dan kamu tidak akan dianiaya (dirugikan)”
(QS.Al-Anfal: 60),
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menafsirkan kekuatan dalam ayat ini dengan lemparan (anak panah). Hal ini sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits bahwa Uqbah bin Amir radhiyallahu anhu mengatakan,
“Saya mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, sedangkan beliau berada di atas mimbar,
{وَأَعِدُّوا لَهُمْ مَا اسْتَطَعْتُمْ مِنْ قُوَّةٍ} ألا إن القوة الرمي ألا إن القوة الرمي ألا إن القوة الرمي
“Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi”
(QS.Al-Anfal: 60), ketahuilah sesungguhnya kekuatan itu adalah lontaran (anak panah). Ketahuilah sesungguhnya kekuatan itu adalah lontaran (anak panah). Ketahuilah sesungguhnya kekuatan itu adalah lontaran (anak panah)”
(HR. Imam Muslim: 1917).
Dari tafsir Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ini bisa ditarik kesimpulan, bahwa kekuatan perang untuk berjihad di jalan Allah Ta’ala itu adalah lontaran senjata perang, dan ini sesuai dengan perkembangan zaman. Di zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lontaran itu dengan menggunakan busur dan anak panah, adapun zaman sekarang, lontaran itu dengan senapan, rudal, dan senjata yang semisalnya.
Demikianlah penjelasan Syaikh Al-Utsaimin rahimahullah dalam Syarh Riyadhush Shalihin.